Tampilkan postingan dengan label PPAT. Tampilkan semua postingan

            Pembuatan akta merupakan dampak langsung dari adanya berberapa ketentuan di dalam perundang-undangan nasional yang menegaskan b...

 


        Pembuatan akta merupakan dampak langsung dari adanya berberapa ketentuan di dalam perundang-undangan nasional yang menegaskan bahwa untuk melaksanakan perbuatan hukum tertentu diwajibkan melalui pembuatan akta otentik sebagai alat pembuktiannya.[1] Pembuatan akta otentik ini pun tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan hanya dapat dibuat oleh pejabat tertentu yang diberikan wewenang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan pendefinisian akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat. Pejabat yang berwenang dalam membuat akta otentik di antaranya adalah Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).

Masyarakat seringkali menyamakan Notaris dan PPAT karena kurangnya pemahaman mengenai perbedaannya. Hal ini juga kemungkinan dilatarbelakangi adanya rangkap jabatan untuk kedua profesi ini atau masyarakat menganggap Notaris sama dengan PPAT. Padahal Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu berbeda satu dengan yang lain dalam pembuatan akta otentik. Serta pada kenyataannya seorang Notaris terkadang merangkap menjadi seorang PPAT, hal itu tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pernyataan tersebut tidak dapat dipersamakan dengan profesi-profesi hukum lainnya seperti pengacara, jaksa, ataupun hakim, yang berdasarkan ketentuan peraturan-perundang-undangan yang mengikat profesi tersebut memang tidak memperbolehkan untuk menyandang dua profesi sekaligus.

Perbedaan Notaris dan PPAT akan diuraikan dengan terlebih dahulu mengetahui seperti apa peraturan perundang-undnagan terkait memberikan definisi terhadap dia profesi ini. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) menyatakan bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”

Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN juga dinyatakan bahwa:

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Sedangkan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, memberikan penjelasan sebagai berikut:

“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

Berdasarkan pendefinisian Notaris dan PPAT tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan penegasan ruang lingkup kewenangan Notaris dan PPAT. Notaris berwenang dalam membuat akta otentik yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan/atau ketentuan lainnya guna menjamin kepastian dari suatu perbuatan hukum. Sedangkan, PPAT berwenang dalam membuat akta otentik khusus untuk perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Pada dasarnya Notaris dan PPAT merupakan profesi hukum yang berbeda tetapi dapat merangkap jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini didasari dengan pemaparan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf g UUJN yang menyatakan bahwa Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan jabatan Notaris. Perlu diketahui bahwa kaidah larangan dalam pasal ini bukan dimaksudkan pada larangan bahwa Notaris dan PPAT tidak dapat merangkap jabatan melainkan larangan bahwa seorang Notaris yang merangkap jabatan sebagai PPAT dilarang merangkap jabatan di luar dari tempat kedudukan jabatan Notaris. Dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara argumentum a contrario yaitu dengan menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, sehingga peraturan itu dapat berlaku kebalikan dari peristiwa diluar dari ketentuan undang-undang.[4] Jadi, secara argumentum a contrario dapat ditafsirkan bahwa Notaris dapat merangkap jabatan sebagai PPAT selama berada di tempat kedudukan yang sama dengan kedudukannya sebagai Notaris.

Hal yang membedakan kedua profesi hukum ini pun terdapat pada dasar hukum dan lembaga yang berwenang dalam pengangkatan dan pemberhentian jabatan dari kedua profesi ini. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 23 Nopember 1998 nomor C-537.HT.03.01-Th.1998 tentang Pengangkatan Notaris.[2] Sedangkan PPAT diangkat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang didasarkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasionaltertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya. [3]

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Notaris dan PPAT merupakan dua profesi yang berbeda dengan kewenangan masing-masing. Notaris berwenang membuat akta otentik terhadap semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan dan pengangkatan/pengakhiran jabatan serta pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan PPAT berwenang membuat akta otentik yang berkaitan dengan perbuatan hukum atas objek tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan pengangkatan/pengakhiran jabatan serta pengawasan PPAT dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3).
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetbook voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 120).

Referensi:

[1] Fred B.G Tumbuan, “Beberapa Catatan Mengenai Pembuktian Akta Otentik”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 6-Nomor 2, 1976, halaman 123.

[2] Lamudi, Perbedaan Notaris dan PPAT, https://www.lamudi.co.id/journal/perbedaan-Notaris-dan-ppat/ (diakses 14 Desember 2022).

[3] Ibid.

[4] Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Pengadilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2-Nomor 2, Juli 2013, halaman 194.