Tampilkan postingan dengan label Notarius. Tampilkan semua postingan

Pasal 19 ayat (2) KUHD menyatakan: "Suatu persekutuan dapat juga pada waktu yang sama berwujud persekutuan dengan firma ter...

Pasal 19 ayat (2) KUHD menyatakan:
"Suatu persekutuan dapat juga pada waktu yang sama berwujud persekutuan dengan firma terhadap sekutu-sekutu yang memakai nama bersama dan persekutuan secara peminjaman uang bagi si peminjamkan uang."

Pasal diatas mengatur manakala dalam CV ada lebih dari seorang Sekutu kerja. Maka dalam hal ini hubungan di antara para Sekutu kerja yang ada adalah hubungan firma. Artinya, para Sekutu kerja itu 1 (satu) terhadap yang lain di antara sesama Sekutu kerja bertanggung jawab tanggung-menanggung renteng sebagaimana Pasal 18 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). 


Pertama-tama perlu kiranya saya uraikan apa yang saya maksud dengan "Maatschap". Yang saya maksud dengan "maatsch...

Pertama-tama perlu kiranya saya uraikan apa yang saya maksud dengan "Maatschap". Yang saya maksud dengan "maatschap" adalah salah satu bentuk persekutuan yang diatur dalam Bab VIII Bagian Satu Buku III KUHPerdata (Pasal 1618 dan seterusnya) yang dalam buku terjemahannya Subekti atas Wet Boek van Burgerlijk Wet diterjemahkan sebagai "persekutuan". 

Sedangkan yang saya maksudkan dengan Format, adalah bentuk persekutuan yang diatur dalam Bab III Bagian Satu Buku Ini KUHD sebagaimana dimaksud oleh Pasal 16 KUHD. Bentuk ini dalam sistem Common Law dinamakan "Partnership".

Dan yang maksudkan dengan CV adalah bentuk persekutuan yang dalam KUHD diatur dalam Bab dan Bagian yang sama, Bersama-sama dengan format sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 KUHD. CV itu merupakan singkatan dari Commanditaire Vennootschap sebutan dalam bahasa Belandanya. Yang menarik, untuk bentuk ini telah lazim kita sebut persekutuan atau perseroan komanditer, namun untuk singkatannya tetap kita pergunakan CV. Bentuk ini pun dikenal dalam sistem Common Law, yaitu dengan apa yang dinamakan "Limited Partnership".

Saya melihat ada 3 (tiga) badan yang merupakan badan usaha dalam arti diadakan dengan tujuan untuk kegiatan komersial. Yang saya maksudkan dengan ketiga badan ini adalah Firma (Fa), Persekutuan Komanditer (CV) dan Perseroan Terbatas (PT). Firma dan Perseroan Komanditer masih diatur dalam KUHD. Namun, Jika kita mengupas tentang Firma dan CV, Kita perlu mempelajari ketentuan-ketentuan tentang Maatschap sebagaimana yang diatur dalam Bab VIII Bagian Satu Buku III KUHPerdata. Menurut pandangan Klasik, Maatschap ini merupakan bentuk genus (umum) dari Firma dan CV. Bahkan menurut pandangan klasik, tadinya Maatschap tersebut merupakan bentuk genus pula dari Perseroan Terbatas (PT). Hanya saja, karena tentang PT itu sudah jauh lebih berkembang, Maka sekarang tidak dapat lagi dimasukkan sebagai bentuk spesies (khusus) dari maatschap. Demikian Firma dan CV sebagai bentuk spesies dari maatschap maka ia akan mengandung pula karakteristik-karakteristik dari maatschap, sepanjang tidak diatur secara khusus dan menyimpang dalam KUHD. Seperti diketahui tentang Firma dan CV dalam KUHD diatur dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 35, atau dengan kata lain sekadar terdiri dari 20 Pasal. Akan tetapi jangan dikira bahwa Firma dan CV itu semata-mata dan terbatas diatur dengan 20 Pasal tersebut. jelasnya segala apa diatur dalam KUHPerdata mengenai maatschap, berlaku pula dengan Firma dan CV. Keadaan ini terbaca dalam Pasal 15 KUHD, yang menyatakan bahwa persekutuan-persekutan yang disebut dalam Bab III, Bagian Satu, Buku Ini KUHD diatur oleh perjanjian-perjanjian antara para pihak dan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebenarnya, apa yang diatur dalam Pasal 15 KUHD sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 KUHD. Sebab KUHD itu sendiri merupakan spesies dari KUHPerdata yang merupakan genusnya. Karena itulah, menurut Pasal 1 KUHD dalam kita memperlakukan KUHD berlaku pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sekadar tidak secara khusus dan menyimpang dalam KUHD. 

Sebenarnya, titik berat ulasan saya dalam artikel ini adalah untuk menguraikan Firma Dan CV. Namun, manakala kita mengulas mengenai Firma dan CV, sebagaimana terurai diatas, maka kita tidak dapat lepas menyimak kepada bagaiamana pengaturannya dalam maatschap. 

Sekian, Semoga bermanfaat. 

Referensi:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Pradnya Paramita, 
2) Harold F. Lusk, Business Law, Richard D. Irwin, Homework, Illinois, 1966, h.444, 
3) Harold F. Lusk, Loc.cit.
4) cetakan ketiga, 2000, citra Aditya Bakti. 

            Pembuatan akta merupakan dampak langsung dari adanya berberapa ketentuan di dalam perundang-undangan nasional yang menegaskan b...

 


        Pembuatan akta merupakan dampak langsung dari adanya berberapa ketentuan di dalam perundang-undangan nasional yang menegaskan bahwa untuk melaksanakan perbuatan hukum tertentu diwajibkan melalui pembuatan akta otentik sebagai alat pembuktiannya.[1] Pembuatan akta otentik ini pun tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan hanya dapat dibuat oleh pejabat tertentu yang diberikan wewenang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan pendefinisian akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat. Pejabat yang berwenang dalam membuat akta otentik di antaranya adalah Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).

Masyarakat seringkali menyamakan Notaris dan PPAT karena kurangnya pemahaman mengenai perbedaannya. Hal ini juga kemungkinan dilatarbelakangi adanya rangkap jabatan untuk kedua profesi ini atau masyarakat menganggap Notaris sama dengan PPAT. Padahal Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu berbeda satu dengan yang lain dalam pembuatan akta otentik. Serta pada kenyataannya seorang Notaris terkadang merangkap menjadi seorang PPAT, hal itu tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pernyataan tersebut tidak dapat dipersamakan dengan profesi-profesi hukum lainnya seperti pengacara, jaksa, ataupun hakim, yang berdasarkan ketentuan peraturan-perundang-undangan yang mengikat profesi tersebut memang tidak memperbolehkan untuk menyandang dua profesi sekaligus.

Perbedaan Notaris dan PPAT akan diuraikan dengan terlebih dahulu mengetahui seperti apa peraturan perundang-undnagan terkait memberikan definisi terhadap dia profesi ini. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) menyatakan bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”

Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN juga dinyatakan bahwa:

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Sedangkan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, memberikan penjelasan sebagai berikut:

“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

Berdasarkan pendefinisian Notaris dan PPAT tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan penegasan ruang lingkup kewenangan Notaris dan PPAT. Notaris berwenang dalam membuat akta otentik yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan/atau ketentuan lainnya guna menjamin kepastian dari suatu perbuatan hukum. Sedangkan, PPAT berwenang dalam membuat akta otentik khusus untuk perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Pada dasarnya Notaris dan PPAT merupakan profesi hukum yang berbeda tetapi dapat merangkap jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini didasari dengan pemaparan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf g UUJN yang menyatakan bahwa Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan jabatan Notaris. Perlu diketahui bahwa kaidah larangan dalam pasal ini bukan dimaksudkan pada larangan bahwa Notaris dan PPAT tidak dapat merangkap jabatan melainkan larangan bahwa seorang Notaris yang merangkap jabatan sebagai PPAT dilarang merangkap jabatan di luar dari tempat kedudukan jabatan Notaris. Dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara argumentum a contrario yaitu dengan menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, sehingga peraturan itu dapat berlaku kebalikan dari peristiwa diluar dari ketentuan undang-undang.[4] Jadi, secara argumentum a contrario dapat ditafsirkan bahwa Notaris dapat merangkap jabatan sebagai PPAT selama berada di tempat kedudukan yang sama dengan kedudukannya sebagai Notaris.

Hal yang membedakan kedua profesi hukum ini pun terdapat pada dasar hukum dan lembaga yang berwenang dalam pengangkatan dan pemberhentian jabatan dari kedua profesi ini. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 23 Nopember 1998 nomor C-537.HT.03.01-Th.1998 tentang Pengangkatan Notaris.[2] Sedangkan PPAT diangkat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang didasarkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasionaltertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya. [3]

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Notaris dan PPAT merupakan dua profesi yang berbeda dengan kewenangan masing-masing. Notaris berwenang membuat akta otentik terhadap semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan dan pengangkatan/pengakhiran jabatan serta pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan PPAT berwenang membuat akta otentik yang berkaitan dengan perbuatan hukum atas objek tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan pengangkatan/pengakhiran jabatan serta pengawasan PPAT dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3).
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetbook voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 120).

Referensi:

[1] Fred B.G Tumbuan, “Beberapa Catatan Mengenai Pembuktian Akta Otentik”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 6-Nomor 2, 1976, halaman 123.

[2] Lamudi, Perbedaan Notaris dan PPAT, https://www.lamudi.co.id/journal/perbedaan-Notaris-dan-ppat/ (diakses 14 Desember 2022).

[3] Ibid.

[4] Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Pengadilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2-Nomor 2, Juli 2013, halaman 194.